Maslahah Syariah sebagai Landasan Energi Hijau Islami

Mahasiswa Institut Teknologi PLN

11/8/20252 min read

flock of birds flying over the green and white floral textile
flock of birds flying over the green and white floral textile

Maslahah merupakan salah satu konsep sentral dalam hukum Islam yang menjembatani teks-teks syariat dengan kebutuhan hidup manusia yang terus berkembang, termasuk kebutuhan akan energi bersih di era krisis ekologi. Secara etimologis, maslahah berasal dari akar kata ṣ-l-ḥ yang bermakna kebaikan, kemanfaatan, dan perbaikan. Secara terminologis, para ulama uṣūl al-fiqh memaknainya sebagai setiap kebijakan atau tindakan yang bertujuan menghadirkan manfaat dan menolak mafsadat bagi manusia dalam bingkai nilai-nilai syariat. Dengan demikian, maslahah bukan sekadar konsep abstrak, tetapi menjadi ruh di balik fleksibilitas dan relevansi hukum Islam di berbagai konteks zaman.

Dalam kerangka maqāṣid al-syarī‘ah, maslahah terkait erat dengan lima kemaslahatan pokok (al-maṣāliḥ al-khamsah): menjaga agama (ḥifẓ al-dīn), jiwa (ḥifẓ al-nafs), akal (ḥifẓ al-‘aql), keturunan (ḥifẓ al-nasl), dan harta (ḥifẓ al-māl). Seluruh perangkat hukum Islam pada dasarnya diarahkan untuk memelihara lima tujuan besar ini, baik pada level kebutuhan primer (ḍarūriyyāt), sekunder (ḥājiyyāt), maupun pelengkap (taḥsīniyyāt). Setiap kebijakan yang mengokohkan lima kemaslahatan tersebut dinilai sebagai maslahah, sementara segala sesuatu yang merusaknya digolongkan sebagai mafsadat yang harus dicegah. Pengembangan energi hijau yang melindungi kehidupan, kesehatan, dan keberlanjutan sumber daya alam dengan sendirinya berada dalam orbit tujuan-tujuan ini.

Dalam konteks isu kontemporer seperti krisis energi dan perubahan iklim, maslahah menjadi kerangka normatif yang sangat penting. Banyak bentuk teknologi dan kebijakan energi modern—mulai dari pemanfaatan energi surya, angin, air, biomassa, hingga panas bumi—tidak disebut secara eksplisit dalam teks al-Qur’an dan Hadis. Namun, ketika energi hijau terbukti mengurangi polusi, melindungi kehidupan, memperkuat ketahanan ekonomi, dan menjamin pasokan energi bagi generasi mendatang, ia dapat dibaca sebagai wujud nyata dari upaya mewujudkan maslahah. Di sini tampak bahwa maslahah mampu mengarahkan ijtihad ulama dan perumus kebijakan agar inovasi energi berjalan sejalan dengan cita-cita syariat, bukan di luar atau melawannya.

Secara praktis, maslahah sebagai landasan pengembangan energi hijau Islami menuntut terpenuhinya beberapa kriteria. Manfaat yang diperjuangkan harus nyata, terukur, dan tidak sekadar asumsi lemah; misalnya penurunan emisi, perluasan akses listrik bagi masyarakat miskin, atau berkurangnya ketergantungan pada energi fosil yang tidak berkelanjutan. Kebijakan energi tersebut juga tidak boleh bertentangan dengan nash yang bersifat pasti, baik dalam hal keharaman substansi (misalnya skema pembiayaan yang ribawi) maupun dalam hal dampak sosial yang zalim. Selain itu, maslahah yang dijadikan dasar harus mungkin direalisasikan secara teknis dan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial-ekologis yang dihadapi umat.

Pemikiran tentang maslahah membuka ruang bagi lahirnya berbagai instrumen dan kebijakan energi hijau yang bercorak Islami. Green sukuk, wakaf energi, pembiayaan syariah untuk pembangkit listrik tenaga surya komunitas, hingga program ekonomi hijau berbasis pesantren merupakan contoh konkret bagaimana kemaslahatan lima tujuan syariat diterjemahkan ke dalam desain kebijakan. Melalui instrumen tersebut, perlindungan jiwa dan lingkungan berjalan seiring dengan penguatan kemandirian ekonomi, keadilan distribusi energi, dan pengentasan kemiskinan energi. Di titik inilah pengembangan energi hijau tidak hanya hadir sebagai solusi teknis, tetapi juga sebagai manifestasi etika dan hukum Islam.

Pada akhirnya, konsep maslahah memperlihatkan bahwa hukum Islam tidak dimaksudkan untuk membelenggu dinamika kehidupan, melainkan untuk menjaganya agar tetap berada pada jalur kemaslahatan yang diridhai Allah. Selama suatu kebijakan energi hijau mampu menopang dan memperkuat pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, sekaligus mencegah kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial, maka ia dapat dipandang sebagai bagian dari penerapan maslahah. Dengan cara ini, pengembangan energi hijau Islami menjadi wujud konkret aktualisasi maqāṣid al-syarī‘ah dalam menjawab tantangan global—khususnya krisis energi dan krisis ekologi—tanpa melepaskan diri dari fondasi teologis dan normatif hukum Islam.